Oleh: Nashuhul Umam
Keluarga Besar PII Aceh
Pada masa kepemimpinan Ratu Victoria (1837–1901), penerapan nilai-nilai moral di Inggris sangat ketat. Etika berbicara, berpakaian, berjalan, duduk, bahkan berinteraksi dengan lawan jenis diatur dengan sangat detail. Hubungan di luar nikah dianggap sebagai skandal besar, dan ekspresi seksual dikebiri di ruang publik. Segala hal yang berpotensi merangsang ditutup rapat-rapat.
Pakaian laki-laki terhormat kala itu berupa celana panjang, jas, dan topi, sedangkan perempuan terhormat mengenakan gaun panjang hingga menyentuh lantai, dengan bagian bawah yang melebar sehingga sama sekali tidak memperlihatkan bentuk kaki dan lekuk tubuh. Mereka juga mengenakan lengan panjang, kerah tertutup, sarung tangan, dan topi. Semakin tertutup, semakin rumit, dan semakin mahal, maka semakin dianggap terhormat. Bahkan kaki piano pun dilapisi kain, demi menutup celah rangsangan seksual di ruang publik.
Di balik ketatnya moralitas yang ditegakkan kepada rakyat biasa, para bangsawan dan elite istana justru sering terlibat dalam skandal seksual. Beberapa rumah bordil dilindungi oleh kekuasaan mereka. Jika rakyat bersalah, hukum ditegakkan secara keras. Jika bangsawan bersalah, aib mereka ditutupi rapat-rapat. Para penegak moral akhirnya menelan ludahnya sendiri.
Tokoh-tokoh agama yang menjadi corong moralitas publik, yang seharusnya menjadi teladan, malah banyak yang menyalahgunakan kepercayaan umat untuk memuaskan hawa nafsu dan kerakusan materi. Di atas mimbar mereka menyerukan larangan zina, judi, minuman keras, dan mempromosikan kesopanan berpakaian. Di balik pintu tertutup, merekalah pelaku atau pendukung praktik gundik dan kejahatan seksual.
Berbeda dengan rakyat biasa, saat tokoh agama terlibat skandal, kasusnya sering ditutup rapat demi menjaga citra rumah ibadah dan agama. Sementara itu, orang tua yang menekankan moral kepada anak-anaknya juga seringkali menjadi pelaku kekerasan fisik, penelantaran, bahkan pembunuhan bayi. Anak-anak tumbuh dengan luka batin dan dendam kepada orang tua dan nilai-nilai moral yang diajarkan secara munafik.
Kekerasan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kemunafikan moral para elite dan tokoh agama akhirnya memicu amarah rakyat. Mereka memberontak terhadap moralitas yang menindas. Kebencian terhadap ketidakadilan inilah yang kemudian melahirkan gelombang besar tuntutan kebebasan di Inggris. Kebebasan itu kemudian berkembang menjadi liberalisme yang tak terkendali hingga hari ini.
Kebebasan itu membawa masalah baru berupa krisis identitas, fenomena LGBT, tingkat kesepian yang sangat tinggi (hingga Inggris membentuk Kementerian Kesepian), dan angka pergantian pasangan yang tertinggi di dunia pada 2008.
Arab Saudi
Arab Saudi sebelum 2004, dikenal dunia sebagai simbol moralitas Islam. Penanaman nilai moral seringkali tidak seimbang dengan pendidikan yang persuasif dan teladan yang nyata. Di dalam rumah tangga, orang tua menekan anak-anak dengan nilai-nilai moral, namun pada saat yang sama kekerasan verbal dan fisik kerap terjadi. Banyak wanita dan anak-anak tumbuh dengan luka batin dan dendam.
Di tingkat negara, kerajaan menetapkan aturan moral yang ketat kepada rakyat, namun sebagian elite kerajaan hidup dengan kebebasan tersembunyi. Perlawanan pun tumbuh, dimulai dari perilaku bebas saat berada di luar negeri, dan mencapai puncaknya ketika liberalisasi kurikulum pendidikan dimulai pada 2004. Dalihnya membuka wawasan pendidikan untuk menangkal radikalisme dan terorisme. Namun hasilnya, budaya Saudi hari ini bergeser menjadi sangat liberal.
Aceh
Kondisi Aceh saat ini tidak jauh berbeda dengan Inggris dan Saudi pada masa pra-liberalisasi. Penegakan syariat di Aceh lebih banyak berbentuk aturan-aturan yang menekan, bukan pendidikan yang persuasif dan penuh cinta. Padahal Rasulullah saw memulai penegakan syariat dengan pendidikan tauhid, membangun cinta kepada Allah, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan secara persuasif melalui keteladanan dan kebijaksanaan. Ketika syariat ditegakkan di Madinah, hati mereka menerima dengan tunduk tanpa perlawanan karena telah lebih dahulu percaya bahwa firman Allah dan sabda Rasul adalah jalan kebaikan dan ketenteraman.
Sejak Aceh memperoleh otonomi khusus untuk menerapka syariat pada 2001, tidak muncul pemikir-pemikir pendidikan syariat yang visioner. Kurikulum pendidikan Aceh masih sama saja dengan daerah lain di Indonesia. Belum ada pemimpin Aceh yang berani melakukan transformasi kurikulum pendidikan menjadi benar-benar berbasis syariat. Pikiran mereka tentang kurikulum syariat hanya sebatas menambahkan program tahfiz dan satu dua kitab kuning ke dalam kurikulum yang ada. Otonomi khusus tidak mampu dimanfaatkan dengan baik.
Padahal tatanan masyarakat dibentuk melalui pendidikan, baik pendidikan di rumah, lingkungan sosial, maupun lembaga formal. Sementara itu, penegakan syariat lewat qanun hanya sebatas aturan hukum, sedangkan pendidikan justru menghasilkan generasi yang liberal dan tidak menundukkan hati kepada Allah Swt dengan penuh cinta dan keridhaan. Akibatnya, Islam dianggap tidak relevan dengan kehidupan modern dan kemajuan sosial, bukan karena ajaran Islam itu sendiri, tetapi karena umat Islam di Aceh, terutama para pemegang kekuasaan, masih melihat syariat sebatas aturan, bukan jalan hidup yang membahagiakan.
Kemunafikan moral para elite, sebagian tokoh agama, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan mulai menjadi sorotan publik. Penyimpangan mereka mewarnai pemberitaan di Aceh. Sementara itu, jurang perbedaan antara generasi muda dan moralitas syariat yang dibangun secara represif semakin melebar, seperti bola salju yang terus menggelinding. “Pemberontakan” kecil terhadap moralitas syariat mulai tampak. Semakin ditekan, semakin kuat pula perlawanan yang terstruktur dari bawah.
Dulu, untuk bisa berpakaian terbuka seperti celana pendek atau tanpa jilbab saat berkeliaran di kota, orang Aceh pergi ke provinsi tetangga. Sekarang, hal itu terang-terangan terjadi di Aceh sendiri, meski masih bermain kucing-kucingan dengan petugas razia. Moralitas syariat dilaksankan bukan karena takut kepada Allah Swt, melainkan semata-mata menghindari razia. Sistemlah yang membuat mereka bersikap seperti itu.
Jika para pemegang kekuasaan belum mampu melepaskan diri dari kepentingan pribadi, partai politik, kelompok tertentu, dan belum belajar dari kegagalan Inggris dan Saudi dalam menegakkan moralitas, maka Aceh bisa saja akan menulai bom waktu liberalisme. Bukan syariat yang salah, melainkan pendekatan yang keliru. Seperti sapi yang lari ketika batang pisang dilemparkan ke arahnya, padahal batang pisang adalah makanan favoritnya. Begitulah syariat, jika dipaksakan hanya dengan cara penegakan hukum, kurangnya sosialisasi dan edukasi.