Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH
Bayangkan ini: Rp 28,7 miliar! Itu jumlah uang yang dibagikan dari dana wakaf Baitul Asyi kepada jamaah haji Aceh tahun ini saja. Ya, dua puluh delapan koma tujuh miliar rupiah. Jumlahnya bikin mata terbelalak, bukan? Sejak 2006, dana ini bak "THR Lebaran" dadakan yang mendarat di kantong ribuan jamaah haji Aceh setiap musim. Totalnya? Dalam 20 tahun terakhir, angkanya sudah mencapai setengah triliun rupiah!
Setengah triliun! Sebuah gunung uang yang nyaris tak terbayangkan. Tapi, mari jujur pada diri sendiri: apakah uang sebesar itu sudah benar-benar memberikan dampak maksimal bagi kesejahteraan umat? Atau jangan-jangan, seperti yang Prof. Al-Yasa' Abubakar resahkan, dana ini justru "menguap begitu saja" setiap kali musim haji tiba?
Ketika "Niat Baik" Terjebak Tradisi
Penyaluran dana wakaf Baitul Asyi kepada jamaah haji asal Aceh adalah fenomena "tragis." Dana wakaf yang seyogianya produktif, warisan mulia dari Syekh Habib bin Bugak sejak 1808, kini hanya jadi uang saku dadakan. Kenapa begitu?
Usut punya usut, akarnya ada pada putusan Mahkamah Saudi yang memerintahkan hasil sewa Baitul Asyi diberikan langsung ke jamaah haji Aceh. Masalahnya, putusan ini diterjemahkan secara harfiah, tanpa melihat konteks zaman. Beda jauh kan, kondisi masyarakat Aceh di awal abad ke-19 dengan Aceh di tahun 2021-an?
Sayangnya, Pemerintah Aceh sendiri seolah "adem ayem." Tidak ada gairah untuk bernegosiasi dengan pihak Saudi atau pengelola wakaf agar dana ini bisa disalurkan lebih strategis. Padahal, dunia sudah berubah. Manajemen haji sudah modern. Tapi penyaluran dana wakaf ini masih saja "kolot," terpaku pada cara lama yang kurang efektif.
Mari Berimajinasi: Setengah Triliun Rupiah untuk "Memancing" Kesejahteraan
Inilah saatnya kita berani berpikir di luar kotak. Dengan sedikit berimajinasi: bagaimana jika uang Rp 28,7 miliar per tahun itu tidak sekadar dibagi-bagikan?
Bayangkan jika dana segar ini disalurkan melalui Baitul Mal Aceh untuk tujuan yang jauh lebih mulia: membangun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di seluruh pelosok Aceh!
Lewat BPRS ini, masyarakat kurang mampu bisa mendapatkan pinjaman modal usaha dengan skema syariah yang ringan dan tanpa ribet. Dana Baitul Asyi yang melimpah bisa jadi "suntikan modal" awal yang dahsyat, memungkinkan BPRS memberikan bagi hasil yang sangat menguntungkan bagi peminjam.
Ini bukan lagi sekadar "memberi ikan," tapi memberi "kail" dan membangun "tambak" bagi rakyat Aceh. Dana itu akan berputar, menciptakan lapangan kerja, menggerakkan ekonomi mikro, dan mengangkat harkat hidup masyarakat secara berkelanjutan. Dari yang tadinya cuma "habis tak berbekas," kini jadi investasi jangka panjang untuk kemandirian ekonomi umat. Lebih elegan, bukan?
Waktunya Bergerak: Ubah Putusan, Wujudkan Kesejahteraan
Jelas, untuk mewujudkan transformasi ini, kita butuh langkah berani. Pemerintah Aceh harus segera proaktif memohon kepada Mahkamah Saudi agar meninjau ulang putusan lama. Kita punya argumen kuat, data valid, dan visi yang jelas: menjadikan Baitul Asyi sebagai motor penggerak kesejahteraan sejati.
Ini bukan cuma urusan angka-angka di laporan keuangan. Ini tentang nasib ribuan jiwa di Aceh, tentang bagaimana sebuah warisan mulia bisa memberikan dampak paling besar bagi umat.
Jadi, tunggu apa lagi? Mari kita dorong perubahan ini bersama!