Akhlak dan Keimanan Cerminan Harga Diri

 


Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Penulis Buku Wakaf di Aceh: Tradisi, Inovasi, dan Keberkahan

Kemiskinan bukan berarti tidak memiliki harga diri. Harga diri bukan ditentukan oleh status sosial. Meski kadang ada orang yang merendahkan atau meremehkan, namun nilai diri sejati tidak ditakar dengan harta, pangkat, atau keturunan.

Kehidupan mengajarkan kita tentang arti sejati harga diri. Kekayaan dan jabatan kerap dianggap sebagai lambang kehormatan, namun belum tentu bernilai mulia di sisi Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah Swt menegaskan, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Ukuran kemuliaan itu adalah takwa, bukan kekayaan, status sosial, atau jabatan duniawi.

Sejarah Rasulullah saw memberi teladan agung tentang nilai sejati manusia yang bersumber dari keimanan dan akhlak. Salah satu kisah yang menggugah hati adalah tentang seorang sahabat mulia yang bernama Julaibib.

Dalam bukunya La Tahzan, Dr ‘Aidh al-Qarni mengisahkan, Julaibib adalah seorang sahabat miskin, berpakaian lusuh, tidak beralas kaki, berasal dari keluarga sederhana, dan tak memiliki rumah. Lapar adalah teman hariannya. Ia hanya minum dari kolam umum dengan tangannya. Tidurnya di masjid, beralaskan kerikil dan berbantalkan tangan.

Secara lahiriah, Julaibib mungkin dianggap rendah, namun ia sosok yang senantiasa berzikir, melantunkan ayat-ayat Allah tanpa henti, dan selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun peperangan. Ia mungkin tak dikenal banyak orang karena kefakirannya, namun ia dikenal di langit karena keimanannya.

Suatu hari, Rasulullah SAW memanggilnya, “Wahai Julaibib, tidakkah engkau ingin menikah?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang mau menikahkan putrinya denganku? Aku tak punya harta dan kedudukan.” Hal ini berulang hingga tiga kali, dan jawaban Julaibib tetap sama.

Pada pertemuan ketiga, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Julaibib, pergilah ke rumah si Fulan dari kaum Anshar, dan sampaikan bahwa Rasulullah memintanya menikahkan anak perempuannya denganmu.”

Keluarga Anshar itu berasal dari kalangan terhormat. Ketika Julaibib menyampaikan pesan Rasulullah, sang ayah tampak ragu, “Bagaimana mungkin aku menikahkan anakku denganmu, padahal engkau tidak memiliki apa-apa?”

Sang ibu pun bertanya dengan nada terheran, “Dengan Julaibib, yang miskin dan tak punya kedudukan?” Namun, dari balik pintu, putri mereka, gadis yang beriman dan salehah, telah mendengar semua percakapan itu. Dengan tegas ia berkata, “Apakah kalian menolak perintah Rasulullah? Tidak, demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya!”

Akhirnya, terjadilah pernikahan penuh berkah antara Julaibib dan gadis dari keluarga terhormat itu. Rumah tangga mereka dibangun di atas dasar takwa dan keimanan. Keindahan dan kebahagiaan menyelimuti kehidupan mereka dalam ridha Allah. Sesuatu yang secara duniawi mungkin dianggap tidak sepadan, namun di mata Allah itulah kemuliaan sejati.

Tak lama kemudian, seruan jihad pun tiba. Julaibib ikut berperang bersama Rasulullah dan para sahabat. Dalam pertempuran itu, ia berhasil membunuh tujuh musuh sebelum akhirnya gugur sebagai syuhada.

Usai perang, Rasulullah memerintahkan para sahabat memeriksa para korban. Nama-nama syuhada disebutkan, namun tak ada yang menyebut Julaibib. Ia memang tidak dikenal banyak orang. Namun Rasulullah tak melupakannya. Setelah mencari, beliau menemukan jasad Julaibib yang tertutup debu. Rasulullah mengusap wajahnya seraya berkata penuh haru, “Engkau telah membunuh tujuh orang, lalu engkau sendiri terbunuh. Engkau bagian dariku, dan aku bagian darimu.” Ucapan ini diulang Rasulullah hingga tiga kali. Sebuah pengakuan kehormatan yang luar biasa dari Nabi saw.

Kisah Julaibib mengajarkan kita bahwa keimanan dan akhlak adalah sumber utama harga diri. Ia tidak pernah menyerah pada kefakirannya. Ia tetap memegang teguh prinsip dan cintanya kepada Rasulullah hingga akhir hayat. Ia pun memperoleh kehormatan tertinggi sebagai syahid dalam ridha Allah.

Dari kisah ini kita belajar, kemiskinan dan kelemahan bukanlah penghalang meraih kemuliaan dan prestasi. Bahagialah mereka yang mengenali nilai dirinya melalui ibadah dan perjuangan hidup. Karena semangat untuk berbuat baik dan beribadah adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Editor: Sayed M. Husen

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama