Psikologi Haji

 

Oleh: Ustaz Dr. Barmawi, S.Ag, M.Si

Dosen Unmuha Banda Aceh 

Allah menekankan pentingnya menjaga perilaku dan sikap selama menjalankan ibadah haji, seperti firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 197, "Musim haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui. Barang siapa yang menetapkan niat dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata atau berbuat keji), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal."

Terdapat tiga aspek utama yang memiliki kaitan erat dengan kondisi psikologis seseorang: larangan berkata kotor atau tidak sopan (rafats), larangan terlibat dalam perdebatan yang tidak produktif (jidal), dan larangan melakukan ketidakjujuran atau kemaksiatan (fusuq). Ketiganya menjadi indikator penting dalam menjaga kebersihan hati dan pengendalian diri selama menjalankan ibadah yang penuh makna ini.

Rafats, atau perilaku dan ucapan yang tidak pantas, mengajarkan pentingnya menjaga etika lisan. Setiap kata yang diucapkan hendaknya mengandung makna yang jelas, tidak menyakiti, dan tidak meremehkan orang lain. Ini merupakan bagian dari pengendalian diri yang penting dalam menjaga kehormatan dan ketenangan selama menjalankan ibadah haji. Dalam konteks psikologi, menjaga ucapan mencerminkan kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dan menunjukkan rasa hormat terhadap sesama jamaah.

Larangan terhadap jidal, atau perdebatan yang tidak penting, menekankan pentingnya kesabaran, empati, dan kemampuan menahan diri. Ibadah haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga ujian mental dan emosional, mengingat kondisi padat dan suasana yang penuh tantangan. Melatih kesabaran di tengah kerumunan, antrean, dan berbagai dinamika sosial selama haji menjadi bagian dari proses pembentukan karakter yang lebih sabar dan toleran.

Sementara itu, larangan terhadap fusuq mengarah pada pentingnya kejujuran dan integritas moral. Ketidakjujuran, meskipun tampak sepele, dapat membuka pintu bagi kebohongan-kebohongan lainnya. Maka, selama berhaji, seseorang dilatih untuk menjadi pribadi yang jujur dan tulus dalam niat dan perbuatan. Aspek ini sangat penting dalam membentuk religiusitas yang utuh, yang tidak hanya tampak dalam ibadah ritual, tetapi juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga larangan tersebut menjadi cerminan yang dapat dievaluasi setelah seseorang menunaikan ibadah haji. Apakah ada perubahan sikap dan perilaku? Apakah seseorang menjadi lebih sabar, jujur, dan bijak? Perubahan pasca-haji inilah yang menjadi tolok ukur sejauh mana ibadah tersebut membekas dalam jiwa dan membawa peningkatan dalam kualitas kepribadian.

Secara umum, dalam perspektif psikologi, manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan dasar yang memengaruhi rasa bahagia: kebutuhan fisiologis (seperti makan dan istirahat), rasa aman, rasa dicintai dan memiliki, pengakuan atau penghargaan diri, serta aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini bermuara pada keinginan untuk meraih kebahagiaan, menjauhkan diri dari kecemasan, dan menciptakan kerinduan terhadap suasana-suasana tertentu yang memberi ketenangan batin.

Ibadah haji merupakan salah satu bentuk aktualisasi spiritual yang memberikan pemenuhan terhadap berbagai kebutuhan tersebut. Ia menjadi pengalaman religius yang dalam, yang memberikan rasa bahagia karena berhasil menunaikan kewajiban kepada Allah. Di dalamnya terkandung makna syukur, kesungguhan, pengorbanan, dan harapan akan pengampunan serta kebersihan hati. Dengan demikian, haji bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga perjalanan transformasi jiwa menuju pribadi yang lebih matang secara spiritual dan psikologis.

(Disarikan dari Pengajian Rutin Sabtu Subuh di Masjid Tgk. H. Jaafar Hanafiah Universitas Muhammadiyah Aceh, 31 Mei 2025)

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama