Banda Aceh (Gema) -- Dalam usaha, bisnis, dan mencari rezeki, terdapat beberapa prinsip syariah yang harus diperhatikan seperti meyakini kesesuaian dengan aqidah, profesional dalam bekerja atau berusaha, serta berakhlak mulia.
Guru Besar UIN Ar-Raniry, Ustaz Prof Dr Mohd Yasir Yusuf MA menyampaikan hal itu dalam ceramah Shubuh di Masjid Raya Baiturrahman (MRB), Rabu, 8 Januari 2025 bertepatan dengan 8 Rajab 1446 Hijriah.
Prof Yasir menguraikan, rezeki yang diperoleh harus sesuai dengan aqidah diyakini. Rezeki adalah ketentuan Allah Swt, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 172, Allah berfirman: "Makanlah dari rezeki yang baik dan halal, dan bersyukurlah kepada Allah.
“Jangan sampai keyakinan berubah saat keluar dari masjid dan menghadapi realitas pasar. Tetaplah teguh pada aqidah dan hindari praktik riba atau pelanggaran syariah lainnya,” tegasnya.
Prof Yasir menjelaskan perlunya profesionalisme dalam bekerja dan berusaha. Dalam mencari rezeki, lakukan dengan sungguh-sungguh dan profesional. Tingkatkan keterampilan dan pengetahuan melalui pendidikan, seminar, kursus, dan pelatihan yang relevan dengan profesi.
Demikian pula, kata Prof Yasir, dalam berusaha mesti mengutamakan akhlak yang baik. Bingkaikan setiap usaha dengan akhlak yang baik. Berikan pelayanan yang sopan, jujur, dan tidak menipu.
“Pastikan setiap transaksi dan interaksi sesuai dengan ketentuan syariah,” pungkasnya.
Hijrah
Sementara Guru Besar UIN Ar-Raniry, Ustaz Prof Dr Fauzi Saleh MA dalam ceramah subuh di Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Banda Aceh, Selasa, 7 Januari 2025 bertepatan dengan 7 Rajab 1446 H menyampaikan, bahwa hijrah merupakan perpindahan menuju terwujudnya peradaban baru.
Menurut Prof Fauzi, hijrah Rasulullah saw ke Yatsrib (Madinah) merupakan peristiwa monumental dalam sejarah Islam. Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga perpindahan menuju peradaban baru yang lebih baik dan awal dari terbentuknya masyarakat Islam yang kuat.
“Rasulullah saw menghadapi ancaman serius dari Kaum Quraisy yang berencana membunuh beliau, namun Rasulullah selamat meninggalkan rumahnya. Tempat tidur beliau digantikan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. Rasulullah kemudian menuju rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a,” ungkapnya.
Prof Fauzi melanjutkan, Abu Bakar merasa sangat senang ketika diajak Rasulullah untuk menemani hijrah. Keduanya berangkat menuju Gua Tsur. Saat Kaum Quraisy mengejar hingga gua tersebut, Abu Bakar merasa cemas akan keselamatan Rasulullah.
“Di dalam gua, Rasulullah menenangkan Abu Bakar dengan kalimat, La tahzan, innallaha ma'ana, jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Rasulullah mengajarkan, bahwa dalam setiap kesulitan, kita harus senantiasa berdoa, memohon perlindungan, dan bimbingan Allah Swt,” ujarnya.
Ia menjelaskan, setelah kondisi aman, Rasulullah dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib dengan dipandu oleh Abdullah bin Uraiqith, seorang penunjuk jalan terpercaya.
Menurut Prof Fauzi, hijrah Rasulullah merupakan perintah Allah Swt setelah 10 tahun berdakwah di Mekkah. Yatsrib menjadi tempat yang dipilih karena masyarakatnya lebih terbuka menerima dakwah Islam. Setelah hijrah, Yatsrib kemudian diberi nama Madinatul Munawwarah oleh Rasulullah.
Setibanya di Quba, Rasulullah disambut dengan penuh suka cita. Penduduk Madinah menanti dengan riang gembira, bahkan ada yang memanjat pohon untuk melihat beliau. Mereka menyambut Rasulullah dengan syair: Thala'al badru 'alaina, min tsaniyyatil wada', wajaba syukru 'alaina, ma da'a lillahi da'.
“Penduduk Madinah dikenal sebagai Kaum Anshar, sedangkan para pendatang dari Mekkah disebut Kaum Muhajirin. Kaum Anshar menyambut dan membantu Kaum Muhajirin dengan penuh keikhlasan. Mereka hidup berdampingan dengan damai di bawah kepemimpinan Rasulullah,” pungkasnya. - Sayed MH/Darmawan