Kurikulum Cinta: Harapan Baru Pendidikan Indonesia

 

Oleh: Ahmad Faizuddin

Kementerian Agama Republik Indonesia secara resmi meluncurkan pedoman pembelajaran baru yang disebut "Kurikulum Cinta". Kurikulum ini dirancang untuk menjadi panduan utama dalam sistem pendidikan yang berada di bawah naungan kementerian, mencakup seluruh jenjang mulai dari tingkat Madrasah hingga Perguruan Tinggi. Peluncuran kurikulum yang berfokus pada penanaman nilai-nilai toleransi, empati, dan kasih sayang ini dilaksanakan dalam sebuah seremoni formal. Acara tersebut dipimpin langsung oleh Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar, MA, pada 24 Juli 2025, di Asrama Haji Sudiang, Makassar.

Konsep “Kurikulum Cinta” merupakan antitesis dari sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada angka dan nilai. Meskipun bukan merupakan kebijakan resmi, gagasan ini mewakili sebuah aspirasi besar: pendidikan yang humanis, yang memanusiakan manusia. Di tengah hiruk-pikuk tuntutan akademik, Kurikulum Cinta menawarkan sebuah jalan untuk menumbuhkan empati, moral, dan karakter. Namun, apakah gagasan ini murni solusi atau justru membawa tantangan baru yang tidak kalah rumit?

Dari satu sisi, Kurikulum Cinta merupakan fondasi penting untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis. Dengan menempatkan nilai-nilai seperti kasih sayang, toleransi, dan gotong royong sebagai inti dari pembelajaran, kita bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional. Secara historis, gagasan ini muncul sebagai respons terhadap warisan pendidikan yang cenderung seragam dan kognitif. 

Sejak era Orde Baru, sistem pendidikan Indonesia sangat menekankan keseragaman dan disiplin, sering kali mengorbankan ruang bagi pengembangan karakter dan emosi. Peristiwa Reformasi 1998 membuka jalan bagi munculnya gagasan pendidikan yang lebih demokratis dan humanis, yang sejalan dengan semangat Kurikulum Cinta. Dengan demikian, Kurikulum Cinta dianggap bisa menjadi benteng melawan polarisasi dan perpecahan yang marak di masyarakat kita.

Namun, di sisi lain, gagasan ini bisa dikritisi dari aspek kepraktisan dan standarisasi. Konsep "cinta" yang begitu abstrak dan subyektif akan sangat sulit diukur, sehingga berpotensi menciptakan ketidakjelasan dalam evaluasi pendidikan. Kekhawatiran ini berakar pada sejarah panjang pendidikan Indonesia yang sangat bergantung pada standarisasi, terutama untuk menjamin mutu dan kesatuan bangsa. Warisan kurikulum kolonial Belanda yang terstruktur dan ujian nasional yang diterapkan selama puluhan tahun adalah bukti kuat sistem kita terbiasa dengan metrik yang jelas dan terukur. 

Tanpa panduan yang jelas, setiap guru bisa menafsirkan "cinta" sesuai dengan keyakinan pribadi atau bahkan pandangan ideologis mereka. Ini bisa menjadi celah bagi masuknya indoktrinasi terselubung. Kritik lain juga menyebut bahwa tanpa metrik yang jelas, Kurikulum Cinta bisa menjadi dalih untuk mengabaikan akuntabilitas akademik, sehingga menghasilkan generasi yang "baik hati" namun kurang kompeten di tingkat global.

Terlepas dari tantangan tersebut di atas, Kurikulum Cinta juga menjanjikan ruang bagi kreativitas dan individualitas. Kurikulum ini mencoba keluar dari model "satu ukuran untuk semua" yang selama ini membelenggu potensi unik setiap anak. Sejarah mencatat bagaimana sistem pendidikan yang kaku sering kali mengerdilkan inovasi. 

Pembelajaran yang didominasi oleh metode ceramah dan hafalan, seperti yang banyak terjadi di masa lalu, tidak berhasil melahirkan nalar kritis yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa. Alih-alih menuntut semua siswa menguasai materi yang sama dengan metode yang seragam, pendekatan ini mendorong eksplorasi bakat dan minat. Fokusnya adalah pada proses belajar, bukan hanya hasil akhir. Pendekatan ini relevan untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi tuntutan abad ke-21 yang membutuhkan inovasi dan nalar kritis, bukan sekadar daya ingat.

Di tengah semua harapan tersebut, kita tidak bisa mengabaikan realitas ekonomi dan sosial di Indonesia. Banyak orang tua, yang hidup dalam tekanan persaingan ketat, masih melihat pendidikan sebagai investasi untuk masa depan ekonomi anak-anak mereka. Mereka mungkin khawatir bahwa Kurikulum Cinta yang cenderung "lunak" dan tidak berorientasi pada nilai ujian akan merugikan anak-anak mereka dalam persaingan masuk ke universitas unggulan atau mendapatkan pekerjaan. 

Kebutuhan akan skill yang terukur sering kali dianggap lebih berharga daripada kebaikan hati yang sulit dibuktikan. Realitas ini menciptakan dilema: apakah masyarakat sudah siap menerima sebuah kurikulum yang mungkin tidak menjamin kesuksesan finansial, namun menjanjikan kebahagiaan dan kedamaian batin.

Sebagai kesimpulan, Kurikulum Cinta adalah sebuah gagasan mulia yang sangat dibutuhkan untuk mengimbangi pendidikan yang berpusat pada kognisi semata. Namun, ia bukanlah tongkat sihir yang bisa mengubah segalanya tanpa persiapan. Tantangan utamanya terletak pada bagaimana menerjemahkan konsep yang abstrak ini menjadi praktik yang konkret, terukur, dan tidak bias. 

Kurikulum Cinta mungkin tidak harus menggantikan kurikulum yang ada, tetapi seharusnya menjadi jiwa yang mengalir di setiap mata pelajaran. Tugas kita bersama adalah mencari keseimbangan antara mendidik hati dan mengasah pikiran, agar generasi penerus tidak hanya menjadi individu yang empatik, tetapi juga kompeten dan siap menghadapi tantangan dunia.

Penulis, Senior Lecturer at Faculty of Education and Liberal Arts, INTI International University, Malaysia

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama