Oleh: H. Gamal Achyar, Lc., M.Sh
Kembali melanjutkan kajian kita yang masih membahas seputar problematika pembagian harta warisan, hibah, dan wasiat di dalam Islam. Tentu bicara terkait tentang permasalahan hukum waris ini, kita membincangkan tentang sebuah hukum yang sangat detail yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur'an, yang mana Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri yang menentukan porsi masing-masing ahli waris.
Ada yang berhak mendapatkan bagian 1/2,1/3,1/4,1/6,1/8, dan 2/3. Bagian-bagian ini bukan ditentukan oleh para ulama, juga bukan ditentukan oleh para nabi-nabinya, tapi bagian ini langsung ketetapannya daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Faridatan minallah.
Permasalahan warisan atau faraid ini termasuk permasalahan yang sering kita dapati di lingkungan kita sehari-hari. Jikalau kita lihat, permasalahan kewarisan ini termasuk salah satu pemicu terjadinya sengketa dan permasalahan adalah ketika ditunda ataupun ditangguhkan pembagian warisan dalam waktu yang lama.
Penangguhan ini akan menjadi cikal bakal terjadinya permasalahan atau sengketa terkait masalah warisan. Terkadang ada sebagian orang tua merasa ataupun menganggap remeh terkait permasalahan warisan ini. Misalnya, ketika seorang ibu meninggal, karena ayah masih hidup, harta peninggalan ibu tidak difaraidkan.
Dampak Negatif Penangguhan Pembagian Warisan
Meskipun dalam beberapa kasus penangguhan ini ada sisi positifnya (misalnya atas dasar kerelaan dan kesepakatan semua ahli waris), tidak kita nafikan banyak terjadinya sisi negatif-negatifnya. Seringkali terjadi masalah ketika orang tua yang masih hidup berfoya-foya dengan harta warisan, menghabiskannya untuk hal-hal yang tidak perlu.
Dalam kasus ini, seorang tua yang masih hidup dianggap bertanggung jawab untuk menjaga harta anak yatim yang ditinggalkan oleh almarhum. Harta ini boleh dikelola untuk biaya pendidikan anak-anak karena diperuntukkan bagi para ahli waris. Namun, jika anak-anak sudah beranjak usia atau hendak menikah, hak mereka harus diberikan.
Apalagi jika kedua orang tuanya sudah meninggal, maka ada tanggung jawab seorang wali untuk menjaga harta anak yatim ini. Harta ini diberikan ketika anak tersebut sudah beranjak usia atau mau menikah, dan saat penyerahan harus dihadirkan dua orang saksi. Hal ini diatur dalam Surah An-Nisa ayat ke-6.
Tidak sedikit juga penangguhan pembagian harta warisan ini menimbulkan sengketa, permasalahan, dan kegaduhan di antara ahli waris. Salah satu contoh kasus adalah ketika salah satu orang tua meninggal dan harta tidak dibagi. Masalah sering terjadi jika orang tua yang masih hidup menikah lagi, yang tidak menutup kemungkinan akan terjadi pencampuran harta dengan istri yang baru.
Aset yang harusnya menjadi harta bersama dengan istri pertama dijual, lalu dibuat investasi baru dengan istri kedua. Puncaknya adalah ketika suami meninggal, istri kedua dan anak-anak dari istri pertama saling mengklaim hak atas aset tersebut. Dalam hal ini, harus tetap dilihat dari harta asalnya itu dari mana, karena jika tidak, akan terjadi kezaliman.
Penundaan pembagian harta warisan juga menyebabkan sebagian ahli waris menguasai harta peninggalan orang tuanya dengan alasan telah lama mengelola atau menganggap diri sebagai anak tertua yang berhak mengatur. Perlu kita ketahui bahwa segala sesuatu yang ditinggalkan oleh almarhum itu pada dasarnya adalah milik bersama di antara para ahli waris.
Jika ada yang mengelola, ia berhak mendapatkan biaya untuk mengelola, tetapi hasilnya tetap menjadi hak bersama. Jika tidak, berarti dia telah memakan hak yang bukan haknya, yang merupakan kezaliman, asbab ditunda pembagian warisan dalam waktu yang lama.
Kasus lain adalah ketika anak-anak sepakat untuk tidak dibagi dulu, sehingga harta itu terbengkalai. Apabila penundaan terjadi dalam waktu yang lama, dan ahli waris yang tinggal membutuhkan secara ekonomi, ini bisa memicu permasalahan seperti salah satu ahli waris menggadaikan harta peninggalan almarhum tanpa sepengetahuan ahli waris yang lain.
Secara tidak langsung, ini adalah memakan hak orang lain. Karena ditangguhkan pembagian harta warisan dalam waktu yang lama, salah satu ahli waris dapat merasa memiliki karena dianggap telah lama mengelola dan menempati harta peninggalan orang tuanya, yang sering berujung pada perselisihan di kemudian hari.
Idealnya, pembagian warisan dilakukan setelah diselesaikan berkaitan dengan hutang piutang dan juga wasiat almarhum. Di dalam Al-Qur'an, waktu pembagian tidak disebutkan secara rinci (tidak harus hari ke-7, ke-40, atau ke-100), tetapi diberikan keleluasaan bagi ahli waris.
Tahapan Penyelesaian Harta Peninggalan
Langkah pertama adalah menyelesaikan hutang almarhum, kemudian melaksanakan wasiat-wasiat almarhum. Perlu diingat, wasiat tidak boleh melebihi dari 1/3 dari total harta peninggalan. Jika wasiat melebihi 1/3, harus ditanyakan kepada ahli waris yang hidup. Apabila semua ahli waris ridha, wasiat boleh dijalankan melebihi 1/3. Jika ahli waris keberatan, maka wasiat hanya boleh diberikan batasan maksimal 1/3 saja.
Baru setelah itu, harta dibagi-bagikan kepada para ahli warisnya sesuai dengan porsi masing-masing yang telah Allah tentukan. Idealnya, pembagian dilakukan setelah hal-hal tersebut diselesaikan.
Hal-hal yang perlu dilakukan ketika ada orang yang meninggal dunia adalah menentukan ahli waris yang berhak, menginventarisir harta-harta yang ditinggalkan, dan memastikan hartanya milik sempurna almarhum (setelah dipisah dari harta bersama jika ada), baru kemudian diselesaikan hutang piutang dan wasiat, setelah itu difaraidkan harta peninggalan almarhum.
Menangani Kasus Kematian Bertingkat
Jika terjadi tumpang tindih (salah satu ahli waris meninggal sebelum harta warisan dibagi), maka hak anak yang meninggal dunia itu tetap dihitung. Penentuan ahli waris itu bukan ketika mau dibagi, tetapi ketika meninggal dunianya si pewaris. Hak terhadap ahli waris yang sudah meninggal tadi tetap dihitung haknya. Setelah dihitung, jika dia sudah berkeluarga, haknya akan diwariskan lagi untuk keluarganya. Jika dia belum berkeluarga, hak dia dikembalikan lagi kepada saudara kandungnya yang masih hidup.
Pentingnya mengetahui mana ahli waris yang duluan meninggal dan yang kemudian meninggal. Syarat daripada kewarisan adalah hidupnya ahli waris ketika meninggal dunia si pewaris.
Ancaman Allah bagi Pelaku Kezaliman Warisan
Kita perlu memiliki ilmu ini karena jika tidak, dan memutuskan suatu perkara, dikhawatirkan kita akan menzalimi hak orang lain. Ketika kita menzalimi hak orang lain, berarti sama dengan kita memakan harta yang bukan hak kita, sama dengan kita memakan harta yang haram.
Bahkan di dalam Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang ahli waris yang memakan harta warisan dengan mempercampuradukkan antara yang halal dengan yang haram. Dia tahu ada haknya yang halal, tapi dia ambil semua, menguasai semua, termasuk hak saudaranya, yang berarti haram bagi dia. Hal ini akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di hari akhir nanti.
Setelah menjelaskan porsi masing-masing ahli waris, Allah menjelaskan balasan bagi orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan melampaui batas dengan menzalimi hak orang lain dalam Surah An-Nisa ayat ke-14.
Barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batasan ketentuan Allah dengan menzalimi hak orang lain. Ancamannya ada tiga: dia akan masuk ke dalam api neraka (Yudkhilhu naaran), kekal dia di dalamnya (Khaalidan fiihaa), dan baginya azab yang menghinakan (Wa lahu 'adzabum muhiin).
Tentu jangan sampai harta warisan ini menjadi bumerang bagi diri kita. Harusnya kita jadikan harta peninggalan warisan orang tua ini adalah menjadi nikmat bagi para ahli warisnya, yang patut disyukuri sebagai hasil jerih payah kedua orang tua kita. Jangan sampai harta peninggalan ini berubah menjadi musibah, di mana yang dulunya akur-akur, ketika sudah ada harta sedikit menjadi ribut, saling fitnah-memfitnah, tidak lagi berkomunikasi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga mensifati harta itu dengan fitnah (ujian). Ini adalah tempat kita dicoba dan diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketika kita betul-betul ikut aturan Allah, mengambil yang benar-benar menjadi hak kita, maka harta tersebut akan menjadi asbab kita mendapatkan keberkahan dan bisa kita pertanggungjawabkan di hari akhir nanti. Tetapi ketika dia memakan hak orang lain, maka harta itu juga Allah akan mengazabnya karena dia telah zalim terhadap hak saudaranya, apalagi ada harta anak yatim.
Semua harta ini akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mudah-mudahan kita semua bisa mempertanggungjawabkan terhadap amanah harta yang telah Allah berikan kepada kita. Lebih dan kurang saya mohon maaf.
(Dirangkum oleh Sayed M. Husen dari Halaqah Maghrib Masjid Raya Baiturrahman, Senin, 6 Oktober 2025/14 Rabiul Akhir 1447)