Membangun Kemaslahatan Melalui Musyawarah

 

Oleh: Dr. K.H. Muharrir Asy’ari, Lc, M.Ag

Sebagai seorang muslim yang hidup bermasyarakat dan bernegara, kita menemukan bahwa Islam mengajarkan akhlak bernegara. Beberapa hal pokok yang diajarkan dalam Islam terkait akhlak bernegara adalah musyawarah, menegakkan keadilan, serta amar makruf dan nahi mungkar. Pada kesempatan ini, kita akan mendalami pentingnya prinsip musyawarah.

Secara bahasa, musyawarah berasal dari kata syawara yusyawiru musyawaratan, yang arti literalnya adalah mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang menjadi mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dipetik dari yang lain, termasuk dalam konteks ini adalah mengambil pendapat atau pandangan terbaik.

Musyawarah juga merupakan masdar (kata benda) dari syawara yusyawiru musyawaratan yang menganut wazan (pola) fa’ala yufa’ilu mufa’alatan, yang bermakna perbuatan yang dilakukan secara timbal balik. Oleh karena itu, musyawarah bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota masyarakat idealnya bebas mengeluarkan pendapatnya. Melalui dialog yang bebas, diharapkan dapat diketahui kelemahan dari pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan menjadi kuat dan tidak lagi mengandung kelemahan.

Musyawarah adalah sesuatu yang sangat penting untuk menciptakan peraturan di dalam masyarakat, apalagi bagi seorang pemimpin publik. Setiap negara maju yang menginginkan keamanan, ketenteraman, kebahagiaan, dan kesuksesan bagi rakyatnya, tetap harus memegang teguh prinsip ini.

Musyawarah dalam Pandangan Al-Qur'an dan Sunnah

Islam sangat memperhatikan dasar musyawarah ini. Dalam Al-Qur'an, terdapat surah khusus bernama As-Syura, yang artinya musyawarah. Surah ini membicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin, salah satunya adalah bahwa kehidupan mereka didasarkan atas musyawarah, sebagaimana firman Allah: “Wa amruhum syura bainahum” (dan urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah di antara mereka).

Suatu hal yang menunjukkan arti pentingnya musyawarah adalah ayat-ayat tentang musyawarah dihubungkan dengan kewajiban salat dan menjauhi perbuatan keji. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah As-Syura ayat 37 sampai 38, yang intinya menyebutkan tentang orang-orang yang menjawab (melaksanakan) perintah-perintah Allah, mendirikan salat, urusan mereka ditetapkan dengan dasar musyawarah di antara mereka, dan menafkahkan sebagian rezeki mereka.

Dalam ayat tersebut, musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat muslim dituturkan sesudah iman dan salat. Bahkan, musyawarah termasuk ibadah seperti salat dan zakat. Maka, masyarakat yang mengabaikan musyawarah dianggap sebagai masyarakat yang mengabaikan ibadah. Jika ada seseorang yang enggan bermusyawarah, berarti ia mengabaikan salah satu aspek penting dalam ibadah dan ciri utama seorang muslim yang kaffah.

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memutuskan suatu urusan penting tanpa bermusyawarah (la yabramuna amron hatta yatasyawaru fihi liyatasa'adu bi-arrihim), agar urusan itu menjadi baik dan mereka dapat mengadu pandangan. Musyawarah juga bertujuan untuk menenangkan hati masyarakat (tatyiban liqulubihim) dan membuat mereka giat dalam melaksanakan keputusan (liyakun ansyat lahum). 

Hal ini terlihat jelas dalam musyawarah menjelang Perang Badar, di mana para sahabat menyatakan ketaatan penuh atas hasil musyawarah yang dipimpin Rasulullah. Praktik musyawarah juga dilanjutkan oleh para sahabat besar, seperti musyawarah enam sahabat setelah wafatnya Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu untuk menentukan pengganti kepemimpinan.

Etika dan Tujuan Musyawarah

Tata cara bermusyawarah bersifat ijtihad dan tidak diatur secara baku dalam Islam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kadang bermusyawarah dengan satu orang, dua orang, atau bahkan dengan seluruh sahabat, tergantung konteks urusan. Musyawarah sangat penting untuk mengambil keputusan yang paling baik, di samping untuk memperkokoh persatuan dan rasa tanggung jawab bersama.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berpendapat bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting, di antaranya: mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat yang terbaik, menghindari celaan dan cemoohan, menciptakan stabilitas emosi, memadukan hati, serta mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam pelaksanaannya, musyawarah harus memiliki etika yang luhur, pertama, lemah lembut dalam menyampaikan pendapat, menghindari perdebatan yang beringas atau menimbulkan keributan. 

Kedua, pemaaf, terutama jika terjadi adu argumentasi atau ketegangan. Ketika keputusan sudah dirangkum dan disepakati, tidak ada lagi perselisihan di luar forum, melainkan kesatuan untuk menjalankan keputusan bersama.

Ketiga, mohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, meskipun terjadi silang pendapat, tujuannya hanya satu: kemaslahatan umat.

Inilah akhlak bernegara dan akhlak bermasyarakat yang diajarkan Islam. Terutama bagi pemimpin publik, musyawarah adalah perwujudan amanah yang diberikan oleh rakyat dan amanah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

(Dirangkum oleh Sayed M. Husen dari Kuliah Shubuh Masjid Raya Baiturahman, 4 Desember 2024).

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama