Banda Aceh -- Umat Islam hendaknya berhati-hati dalam merespons dan menyebarkan setiap berita yang diterima. Sikap gegabah dan latah dalam menyebarkan informasi, apalagi tanpa verifikasi, dapat menimbulkan dampak serius, baik secara moral, sosial, maupun hukum.
Imam Besar Masjid Fathun Qarib UIN Ar-Raniry, Tgk Saifuddin A. Rasyid, menyampaikan peringatan tersebut dalam khutbah Jumat di Masjid Baitus Shalihin, Ulee Kareng, Banda Aceh, 3 Oktober 2025 bertepatan dengan 10 Rabiul Akhir 1447 H.
“Jangan mudah dan latah dalam merespon dan meneruskan berita yang masuk ke tangan kita. Baik berita yang kita terima maupun yang sengaja kita buat dan sebarkan, semua itu ada dampaknya. Bukan hanya secara moral, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum,” tegas Saifuddin yang juga akademisi UIN Ar-Raniry di bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi.
Ia menyoroti kondisi sosial belakangan ini yang kian panas akibat aktivitas di media sosial. Konflik antardaerah, menurunnya keharmonisan masyarakat, hingga krisis kepercayaan rakyat kepada pemerintah, menurutnya tidak terlepas dari peran penyebaran informasi yang serampangan. Karena itu, ia mengajak umat islam menahan diri dan kembali merujuk pada tuntunan syariat Islam.
Fenomena framing atau pembingkaian berita juga menjadi perhatian. “Sering kita temukan berita dipotong, ditambah, diberi bumbu, atau diutak-atik untuk kepentingan tertentu, baik sekadar lelucon maupun tujuan politik. Ini berbahaya,” katanya.
Mengutip firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 6, Tgk Saifuddin menegaskan pentingnya tabayun atau verifikasi setiap kali menerima berita.
“Perintahnya jelas, lakukan check, cross-check, dan teliti sebelum meneruskan. Kalau tidak bisa dipastikan kebenarannya, hentikan di tangan kita. Jangan diteruskan. Meneruskannya, baik tanpa tabayun maupun setelahnya, tetap bisa menjadi dosa dan kejahatan,” ujarnya.
Menurutnya, Al-Qur’an juga mengingatkan agar umat tidak mencelakakan suatu kaum hanya karena kebodohan dan kecerobohan dalam menyebarkan informasi, yang akhirnya membuat penyesalan mendalam.
“Ultimatum Allah dalam ayat ini sangat keras, agar kita berhati-hati dan mampu mengendalikan diri,” tegas bendahara ICMI Aceh itu.
Lebih jauh, ia menganalogikan aktivitas media sosial dengan sistem penyimpanan data dalam teori Knowledge Management. Segala tindakan kita, katanya, terekam dengan baik dalam “server” Allah Swt dan akan dipanggil kembali kelak di hadapan-Nya.
“Apa pun yang sudah kita kirim dan sebarkan akan menjadi tanggung jawab kita di akhirat,” ujarnya.
Di akhir khutbah, Tgk Saifuddin mengingatkan umat islam untuk juga mematuhi hukum positif yang berlaku di Indonesia, khususnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Pelajari UU ITE itu dan jangan meremehkannya,” himbaunya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya menjadikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 24 Tahun 2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah di media sosial sebagai pegangan.
“Waspadai tindakan yang bisa mengarah pada kebohongan atau kizb, ghibah, fitnah, serta namimah. Semua itu berbahaya, tidak hanya di dunia, tapi juga di hadapan Allah Swt,” tutupnya. (Sayed M. Husen)